River

Jumat, 24 Desember 2010

Semestinya Perusahaan Pencemar Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan


MEDAN (Waspada): Sudah saatnya disadarkan, perusahaan yang memanfaatkan, merusak dan mencemarkan lingkungan, membayar aktifitas itu dengan berperan sebagai penyedia jasa lingkungan (saler). Langkah demikian harus dilakukan melalui penyadaran publik (public awarenes), bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktifitas perusahaan harus dibayarkan kepada mereka yang menderita (buyer) akibat aktifitas itu.

Pemikiran itu berkembang, dalam acara “Forum Konsultasi/Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sum. Utara,” Senin (11/10), di Hotel Antares, Medan. Acara yang dibuka Kadis Kehutanan Sumut Ir. JB Siringoringo itu, dihadiri sejumlah intansi terkait se Sumut serta Forum DAS se Sumut.

Pada acara itu dipaparkan hasil studi banding Forum DAS Sumut bersama beberapa Forum DAS lainnya ke Forum Komunikasi DAS Cidanau di Prov. Banten. Salah satu dari hasil studi banding itu, adalah kesediaan perusahaan pemanfaat air sungai Cidanau PT Krakatau Tirta Industri untuk menjadi penyedia jasa lingkungan hingga Rp950 juta per tahun bagi pemeliharaan lingkungan DAS. Pembayaran jasa itu dilakukan melalui sistem zakat perusahaan, karena memang hingga kini belum ada peraturan yang mengatur soal penyedia jasa lingkungan itu.

Rencana aksi pelaksanaan public awarenes itu, mulai dilakukan dengan melakukan pendataan terhadap perusahaan yang memanfaatkan DAS dalam aktifitasnya, maupun perusahaan yang diduga melakukan perusakan dan pencemaran secara langsung atau tidak langsung terhadap DAS.

Sebelumnya, Kadis Kehutanan Ir. J.B Siringoringo, mengatakan dalam pengelolaan DAS semua kalangan harus dilibatkan, disamping kesiapan kelembagaan dalam melakukan perencanaan penanganan kerusakan DAS. Keterlibatan perusahaan mutlak diperlukan, karena selama ini memang belum ada formulasi yang jelas untuk melibatkan mereka dalam penanganan kerusakan DAS. “Perusahaan memilik program CSR (Corporate Social Responsibity) yang kegiatannya umumnya belum peka lingkungan,” ujar Kadis Kehutanan itu. Atas dasar itu perusahaan harus diberi penyadaran.

Kepala BP DAS Wampu-Ular Ir. G. Siboro senada, menyatakan tugas Forum DAS untuk melakukan diagnosis seberapa besar tingkat kerusakan DAS di daerah masing-masing. Upaya mengembalikan kondisi DAS pada keadaan semula, merupakan cita-cita yang mesti ditanamkan, walau hal itu mustahil. Tapi paling tidak, upaya melibatkan semua kalangan dalam mengembalikan fungsi DAS, menjadi penting.@

Belasan Galian C dan Sawmill Di T.Tinggi Tak Miliki Izin Lingkungan

TEBINGTINGGI (Waspada): Belasan usaha galian C dan sawmill (peracipan kayu) di Kota Tebingtinggi, belum memiliki izin lingkungan. Padahal, telah bertahun-tahun melakukan usaha itu dan merusak lingkungan. Di kota itu, terdapat 17 usaha galian C dan 21 usaha sawmill. Dari 17 usaha galian C, 13 usaha belum punya izin, dua usaha memiliki izin SPPL dan dua lainnya punya izin UKL/UPL.

Hal itu disampaikan Kakan Lingkungan Hidup Ir. Leo Lopulisa H, MSi, Jum’at (15/10), saat melakukan peninjauan di aliran sei Padang terkait pencemaran limbah PKS Kebun Pabatu PTPN IV.

Selain usaha galian C, ungkap Lopulisa, usaha sawmill juga masih banyak yang enggan mengurus izin lingkungan. Dari 21 usaha yang beroperasi, ada 10 perusahaan yang berniat baik dan sedang mengurus UKL/UPL, sedangkan 11 perusahaan lainnya belum melakukannya. Bahkan, ada satu sawmill yang tidak mengantongi IUPHHK (Izin usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu) berdasarkan Perda Provsu, yakni peracipan kayu “Miranti” di Jln Sungai Mati, Kel. Brohol.

Diakui, selama ini usaha sawmill hanya mengantongi SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan). Namun, seiring dengan aktifitas usaha yang berpengaruh pada lingkungan, sawmill sudah harus mengurus izin UKL/UPL (Usaha Kelola Lingkungan/Usaha Pengawasan Lingkungan), kata Lopulisa.

Dikatakan, galian C yang semuanya beraktifitas pengambilan pasir di sei Padang, Sibarau dan Bahilang, umumnya tanpa memiliki izin usaha lingkungan. Padahal, pengerukan pasir dari sungai, berdampak multi dimensi bagi kehidupan habitat sungai. “Pengerukan yang tidak terukur dan pengambilan pasir secara serampangan akan merusak sempadan sungai,” tegas dia. Karena itu, galian C dalam operasinya mesti dipantau serius agar tidak berdampak. Salah satu dampak penggalian pasir adalah sedimentasi, tegas alumni S2 PSL USU itu.@

BAYAR : Perusahaan pencemar lingkungan harusnya membayar atas tindakannya. Seperti sawmill yang menebangi pohon dan mencemari lingkungan ini. Sebuah sawmill di Tebingtinggi yang dikeluhkan masyarakat. (River2000/Ist)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar