River

Jumat, 24 Desember 2010

Perda Provsu No.7/2003, Pangkal Penyebab Banjir Di T.Tinggi


TEBING TINGGI (Waspada): Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No.7 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara 2003-2018 yang dikuatkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.44 Tahun 2005, menjadi pangkal penyebab banjir rutin yang dialami Kota Tebing Tinggi. Karena dalam Perda itu terjadi peralihan status hutan di Gunung Simbolon, Kab. Simalungun dari semula hutan lindung menjadi hutan produksi.

Demikian pula dengan terjadinya perubahan pola tanam dari kebun karet menjadi kebun sawit di hulu sungai Bahilang pada wilayah Kab. Sergai dan Simalungun.
Hal itu terungkap pada “Seminar Rencana Detail Tata Ruang Kota Dan Tepi Sei Padang Serta Bahilang Dan Zonase Kawasan Wilayah Kota Utara,” Selasa (11/11), di aula utama Pemko Tebing Tinggi. Acara yang digawangi Bappeda itu menghadirkan Bappeda dan Dinas Tarukim Sumut serta Konsultan Penyusun Rencana Tata Ruang Kota Tebing Tinggi 2009-2028, sebagai pembicara. Terlihat hadir kalangan DPRD, instansi terkait serta kepala kelurahan dan kepala lingkungan di area pinggiran sungai.

Adalah Kepala Bappeda Kab. Simalungun Ir. H.M. Damanik, mengungkapkan hal itu di sesi tanya jawab, setelah Bappeda Sumut menyampaikan pemaparannya soal tata ruang Sumut. Menurut Ka. Bappeda Kab. Simalungun itu, banjir di wilayah Kota Tebing Tinggi bisa diantisipasi jika hutan di kaki Gunung Simbolon yang selama ini merupakan hutan produktif dikembalikan ke fungsi semula sebagai hutan lindung.

“Setahu saya dulunya area itu hutan lindung, tapi kini jadi hutan produktif,” kata pejabat yang lama di Dinas Perkebunan Kab. Simalungun itu. Hal itu berdasarkan pengalamannya menangkap perambah hutan yang ternyata dibebaskan pengadilan, akibat peralalihan fungsi hutan sesuai Perda itu. Karena itu, dia mengusulkan agar Pemprovsu merevisi Perda itu, sekaligus mengusulkan revisi SK Menhut No.44 Tahun 2005.

Namun, Ir. Mulyadi dari Bappeda Sumut, menyatakan revisi itu tidak sembarangan dilakukan, karena besar resikonya. Sehingga, akan lebih memungkinkan jika yang dirubah lebih dulu, adalah SK Menhut No.44 tahun 2005. Diungkapkan pula, bahwa revisi Perda Sumut sudah diupayakan. Tapi 19 kepala daerah enggan menanda tanganinya, karena takut terjerat kasus hukum peralihan hutan. Begitu pun pihak Bapppeda Sumut menerima masukan itu untuk melakukan revisi Perda itu.

Namun, Ka. Bappeda Simalungun itu tetap bersikeras revisi atas dua peraturan itu bisa dilakukan, karena landasannya lebih kuat dari kedua peraturan yang ada. Pejabat Bappeda Simalungun yang mengaku sekolah SMP dan SMA di Tebing Tinggi itu, mengingatkan pula agar tidak terjadi perubahan pola tanam di perkebunan hulu sungai Bahilang. Jika terjadi perubahan dari tanaman karet ke tanaman sawit, niscaya banjir di Kota Tebing Tinggi akan semakin parah.

Sementara itu, Konsultan memaparkan rencana pengembangan kawasan tepi Sungai Padang/Bahilang dalam rangka memenuhi ruang terbuka hijau, perlindungan kawasan sungai, serta membentuk icon kota Tebing Tinggi. Dalam pemaparannya, RDTRK itu akan mengarahkan Kota Tebing Tinggi ke depan sebagai River City. Upaya mewujudkan rencana itu, akan dibangun Riverfront di Kel. Tanjung Marulak Hilir, Kec. Rambutan. Berupa pembangunan area perdagangan dan jasa, fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadahan, sosial, transportasi, ruang terbuka hijau, area cadangan dan kawasan lindung.
Sedangkan ruang lingkup wilayah perencanaan inti, meliputi Kel. Lalang, Tanjung Marulak Hilir, Sri Padang dan Tanjung Marulak. Rencana itu akan dilaksanakan dalam rentang 2009-2028 atau selama 20 tahun.@

ALIH FUNGSI : Hulu Sei Padang di Gn. Simbolong yang semula hutan lindung, akibat SK Menhut No.No.44/2005 dan Perda provsu No.7/2003 beralih jadi hutan produktif. Akibatnya, saat ini lereng gunung pun di daerah itu sudah ditanami sawit. Wajar jika kemudian terjadi banjir di hilir sungai. Salah satu sempadan hulu sei Padang yang rusak akibat penambangan C. (River2000/Ist).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar