River

Selasa, 29 Juni 2010

Atasi Banjir, Bebaskan 30 Ribu Meter Bantaran Sei Bahilang


Tiap tahun, ribuan perumahan warga di bantaran sungai kota Tebing Tinggi, selalu saja tertimpa musibah banjir. Meski bagi mereka hal itu sudah biasa. Namun tetap saja “tamu tak diundang” itu, memunculkan keluhan perlunya mengatasi luapan sungai. Banjir besar yang menenggelamkan sebagian besar kota itu, pernah terjadi tahun 2001, ketika 70 persen kota tergenang air keruh berlumpur. Bahkan, saat musibah itu melanda, di simpang empat kota Tebing Tinggi, air mencapai 1,5 meter dari permukaan tanah.

Wilayah Tebing Tinggi, memang dilalui satu sungai besar, tiga sungai sedang, yakni sungai Padang , kemudian sungai Bahilang, Sibarau dan Kelembah. Lainnya beberapa anak sungai, yakni sungai Batuan dan Sigiling. Jika salah satu di antaranya meluap, dipastikan akan menjejas perumahan warga.



Kondisi demikian sudah berlangsung lama, karena master plan yang dibuat Gemente Tebing Tinggi, tidak lagi jadi acuan pembangunan kewilayahan. Beberapa saksi hidup dari kalangan sepuh, menyebutkan kerusakan tata kota sudah terjadi sekira tahun 1975, ketika penguasa kota saat itu, mengijinkan pendirian rumah di sekitar bantaran sungai.

Akibatnya, bantaran sungai di kota itu dijejali perumahan warga. Bahkan, di inti kota deretan ruko berdiri angkuh, dan merampok bantaran sungai yang dilindungi undang-undang. Lebih mengenaskan, deretan ruko di bantaran sungai itu, memiliki sertifikat hak milik atas lahan negara. Kondisi demikian, kian tahun terus membesar dan dipandang biasa. Warga dan intansi berwenang, tidak lagi merasa melanggar hukum untuk memberikan ijin dan mendirikan bangunan di bantaran sungai.

Lalu, 30 tahun kemudian keangkuhan terhadap sungai, menghasilkan musibah banjir beruntun. Ribuan rumah yang mendiami bantaran sungai Padang , Bahilang, Sibarau dan Kelembah, ketiban sial akibat ulah warga kota sendiri.

Setahun belakangan, petaka banjir tidak hanya disebabkan perilaku sungai yang alamiah. Tapi telah bertambah, diakibatkan terjadinya kesalahan teknis dalam pelaksanaan rehabilitasi saluran drainase kota . Kini, meski tidak ada banjir kiriman dari hulu sungai, jika hujan sejam saja, dipastikan inti kota “tenggelam.”

Mau tidak mau, beban masa lalu itu harus ditanggung bersama dan mesti pula dicarikan penyelesainnya. Jika tidak, kesalahan itu hanya akan menjadi sumber penyesalan anak cucu kita, di masa mendatang.

Walikota Tebing Tinggi Ir. H. Abdul Hafiz Hasibuan, dalam satu perbincangan, pernah mengutarakan pandangan berupa upaya mengatasi bencana banjir musiman itu. Pandangan itu, di antaranya membebaskan lahan/bantaran sungai dari perumahan warga. Kemudian membuat alur sungai alternatif (sudetan/kanal) yang berfungsi membagi suplai air ketika debitnya meningkat.

Dari wacana pertama, harapan Walikota, proyek pembebasan bantaran sungai Bahilang mengambil lahan selebar lima meter di sisi kiri-kanan badan sungai. Sedangkan panjang bantaran yang dibebaskan, meliputi Kelurahan Mandailing, Persiakan Pasar Baru dan Bandar Sono. Pada empat kelurahan, panjang bantaran yang dikuasai warga mencapai 3.000 meter per sisi. Artinya, Pemko Tebing Tinggi harus membebaskan lahan seluas 3.000m x 2 x 5m = 30.000 meter. “Sebagai pilot project kita bisa mulai dari Kampung Kurnia (Link.05 dan 06 Kel. Mandailing),” kata Walikota.

Nantinya, lahan yang dibebaskan itu dijadikan area penghijauan dan taman kota . Sedangkan dasar sungai diperdalam dan dinding sungai lebih ditinggikan, kata Hafiz pada perbincangan itu. Pemikiran itu, akan ditindak lanjuti dengan memasukkan anggarannya di APBD 2008.

Pengakuan Camat Padang Hulu Drs. Bambang Sudaryono, kini pihaknya sudah melakukan pendataan warga yang mendiami bantaran sungai. “Saya sudah perintahkan untuk mendata penduduk di sekitar sungai,” kata Sudaryono.

Beberapa warga yang dikabari soal adanya ide pembebasan lahan, menanggapi beragam. Umumnya, warga setuju jika mereka direlokasi ke tempat lain. Cuma harapannya berbeda-beda. Kundur, 45, warga Link.05, Kel. Mandailing, menyatakan sangat setuju jika lahannya di ganti rugi. “Timbang terus kebanjiran di sini, baiknya memang pindah aja,” kata ibu rumah tangga yang sudah tinggal belasan tahun di sana .

Hal senada disuarakan Evi, 30, warga Link. 06 Kel. Mandailing. Dia berharap ganti rugi mesti dengan pertapakan rumah juga. “Mau diganti rugi, tapi mesti dengan rumah juga. Kalau duit, duitnya habis rumah tak terbeli,” kata dia.

Wacana itu juga mendapat dukungan dari Wakil Ketua DPRD Joni Sinaga. Menurut Joni, mengatasi banjir sungai Bahilang mesti ditangani serius. Artinya, kata dia, langkah Walikota itu suatu terobosan yang perlu didukung semua pihak. “Secara pribadi saya mendukung, nanti kita suarakan ke anggota DPRD lain,” kata anggota Dewan dari PDIP itu.

Lebih jauh lagi, menurut Joni Sinaga, proyek perbaikan sungai itu akan mendapat perhatian Pemprovesu dan Pusat. Sehingga proyek itu kelak akan mendapat support anggaran dari atas. “Memang kita harus mulai di 2008,” kata Joni.

Tinggal lagi, sejauh mana wacana itu berkembang dan menggelinding menjadi proyek pembebasan banjir, membutuhkan kesiapan mentalitas instansi terkait di Pemko Tebing Tinggi. Jangan nanti, harapan besar itu hancur hanya karena ketidak siapan aparat teknis mewujudkannya di lapangan. Seperti penanganan drainase belakangan ini. Berharap makin baik, nyatanya kian menambah sengsara masyarakat. Abdul Khalik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar