River

Selasa, 29 Juni 2010

Kegiatan Perkebunan Sebagai Penyebab Banjir Sei Padang


Wajah Leman Sinaga, 57, warga Dusun 13 Desa Marjanji, Kec Sipispis, Kab Serdang Bedagai, terlihat lesu. Matanya yang lelah menerawang ke atas, seakan memancarkan sirat ketidak percayaan, banjir bandang Sei Padang telah meluluh lantakkan seluruh hartanya dalam sekejap. Minggu (6/12) dini hari, ‘kiamat kecil’ itu melanda Kampung Kelambir, mengakibatkan 35 rumah rusak dan ratusan hewan ternak mati. Kerugian dari musibah alam itu, diperkirakan mencapai Rp1 milyar. “Ini pertama kali terjadi sejak nenek saya membuka kampung ini 70 tahun lalu,” kata Leman Sinaga dengan wajah mengguratkan kesedihan.

Leman Sinaga, menduga terjadinya banjir bandang Sei Padang itu, karena adanya perubahan pola tanam di sekitar DAS Padang. “Dulu waktu tanaman karet tak ada seperti ini, tapi sekarang ditanam sawit, jadi begini,” kata dia, di depan rumahnya yang rusak berat.

Dua tahun sebelumnya, banjir bandang juga menghantam sejumlah desa di tepian Sei Padang. Sejumlah fasilitas publik di antaranya jembatan penghubung Desa Buluh Duri dan Bangun Jawa Dua di Kec. Sipispis, ambruk. Belasan rumah juga mengalami kerusakan, termasuk di antaranya lokasi wisata Batu Nongol Air bah itu membawa ratusan ton bangkai pohon perkebunan dan hutan, menyerbu daerah hilir. ‘Sampah’ hutan itu menyangkut di kaki jembatan, memaksa Pemko Tebingtinggi mengeluarkan dana ekstra untuk membersihkannya.

Potret di atas merupakan potongan fragmen musibah banjir yang terjadi dalam tiga tahun belakangan. Disamping intensitas banjir terus meningkat, ternyata daya rusaknya juga semakin besar. Dikhawatirkan ke depan, korban manusia hanya menunggu waktu saja, karena datangnya banjir tidak bisa dideteksi lagi sebagai dampak climate change. Sementara jumlah hunian masyarakat di pinggiran sungai Padang terus meningkat, terutama di Kota Tebingtinggi, tanpa adanya upaya penegakan hukum yang tegas.

Kepala Badan Konservasi Sumberdaya Air Wampu/Sei Ular Ir. Gerendel Siboro, pada pertemuan pembentukan Forum DAS Padang di Kebun Pabatu PTPN IV, belum lama ini, mengakui daerah aliran sungai Padang mengalami kerusakan parah. Bahkan, tingkat kerusakan itu masuk dalam grade 1 dari 108 DAS yang ada. Indikasi terjadinya kerusakan DAS Padang, yakni tidak stabilnya debit air permukaan sungai. Saat musim kemarau air susut hingga titik terendah, sedangkan ketika musim hujan debit air meningkat drastis hingga mengakibatkan banjir.

Persoalannya, kenapa tingkat kerusakan DAS Padang menjadi demikian tinggi dan bagaimana proses kerusakan itu terjadi. Diperkirakan, sumber kerusakan DAS Padang sebagai akibat proses perubahan alih tanam lahan serta praktek replanting areal perkebunan yang dilakukan secara serampangan dengan tidak mempertimbangkan tata ruang. Disamping perilaku masyarakat sekitar perkebunan yang melakukan plagiat terhadap perilaku perkebunan.

Beberapa perkebunan yang diperkirakan melakukan tindakan demikian adalah Kebun Gunung Pamela, Kebun Gunung Monako, Kebun Nagaraja, Kebun Pabatu, Kebun Bandar Bejambu, Kebun Rambutan, Kebun Gunung Para. Serta beberapa perkebunan lain yang posisi arealnya agak ke hilir, seperti Kebun Paya Pinang, PT Lonsum Kebun Sibulan dan PT Nusa Pusaka Kencana. Seluruh perkebunan BUMN, PMDN dan PMA itu, merupakan perkebunan yang menguasai lahan berhampiran dengan DAS Padang. Umumnya, perkebunan itu berada di wilayah Kecamatan Sipispis dan Tebingtinggi, Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan beberapa perkebunan di wilayah Kabupaten Simalungun, diperkirakan juga melakukan hal sama, yakni PT Good Year dan Kebun Dolok Ilir, Kec. Tapian Dolok serta beberapa perkebunan swasta di perbatasan antara Kabupaten Sergai dan Simalungun, khususnya di Kec. Raya Kahean.

Tak hanya perkebunan yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan DAS Padang, perilaku masyarakat di sekitar perkebunan, menjadi salah satu faktor penting penyumbang kerusakan. Terutama, masyarakat yang berada di kaki pegunungan Simbolon serta masyarakat pengguna lahan di bantaran sungai. Umumnya, mereka menjadikan lahan pinggiran sungai sebagai kebun yang tumbuhan dan pola tanamnya sama dengan perkebunan. Sedangkan kegiatan perladangan juga mengabaikan aspek keseimbangan lingkungan.

Soal itu, pengakuan datang dari Kepala Desa Nagur kec. Sipispis Karunsi Samarmata. Kades dari desa paling ujung di Kab. Sergai itu, mengakui 50 persen penduduk desanya dan penduduk desa di sekitar Pegunungan Simbolon, menggunakan area register sebagai lahan berkebun dan bercocok tanam. Sebagian besar area register itu digunakan untuk lahan berkebun sawit serta tanaman keras. Bahkan, ada di antaranya yang menanam tanaman semusim. Area register itu juga, sudah dianggap sebagai milik pribadi, karena banyak di antaranya yang telah diperjual belikan di antara sesama penduduk. “Saya rasa kalau area register dilarang penggunaannya, banyak penduduk di sini akan kelaparan,” ujar Karunsi, menyimpulkan permasalah lahan register itu.

Peraturan Daerah Provsu No.7 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Provinsi Sum. Utara 2003-2018 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.44 Tahun 2005, harus diakui menjadi dasar justifikasi penyebab kerusakan DAS Padang. Ketentuan itu, telah menetapkan Pegunungan Simbolon sebagai hutan produksi. Padahal, sebelumnya status hutan Pegunungan Simbolon adalah hutan lindung. Alih fungsi hutan yang terjadi dalam dua ketentuan itu, mengakibatkan terjadinya penjarahan besar-besaran hutan mulai dari lereng hingga ke kaki Pegunungan Simbolon.

Dari pantauan, perkebunan sawit tidak hanya ada kaki pegunungan, tapi sudah sampai ke lereng perbukitan dan gunung. Bahkan, pemukiman warga juga sudah ada di lereng gunung. Salah satunya adalah Dusun Huta Baru, Desa Nagur. Di dusun itu, dari pengakuan Kades Karunsi Simarmata, telah ada 25 KK yang mendiami lereng gunung itu sejak satu dekade terakhir. Potret di atas, berkorelasi dengan pola penanaman di daerah hulu sungai yang sebagian besarnya menanam sawit sehingga menimbulkan ketidak seimbangan ekosistem.

Mengambil contoh di Kec. Sipispis Kab. Sergai sebagai salah satu daerah hulu Sei Padang, dari data yang dikeluarkan Pemkab Sergai, diperkirakan kecamatan itu memiliki luas sekira 222,60 Km dengan ketinggian rata-rata 400-450 M di atas permukaan laut. Sedangkan tingkat elevasi/kemiringan tanah rata-rata 55,12 persen.dari total lahan yang ada. Curah hujan rata-rata mencapai 2.200 mm/tahun.

Kecamatan Sipispis terdiri dari 14 desa, yakni Kel. Sipispis, Desa Serbananti, Bartong, Tinokkah, Naga Raja, Rimbun, Mariah Nagur, Marubun, Pispis, Baja Dolok, Silau Padang, Marjanji, Simalas, dan Damar Urat. Kemudian, dari luas areal di atas, sekira 6.808 Ha dikuasai oleh tiga perkebunan yakni PTPN III Kebun Gunung Pamela dan Gunung Monako serta PT Good Year Nagaraja. Umumnya ketiga perkebunan itu, merupakan perkebunan sawit dan sedikit karet

Kemudian, sekira 9.618 Ha merupakan kebun sawit rakyat, 214 Ha kebun karet rakyat, sawah tadah hujan 511 Ha dan sawah irigasi 204 Ha. Selebihnya merupakan hutan lindung seluas 2.670 Ha dan lahan yang digunakan untuk perumahan, lapangan, pekuburan dan fasilitas publik lainnya seluas 747 Ha.

Berdasarkan data itu, penanaman sawit dan sedikit karet (monokultur) di Kec. Sipispis menggunakan areal seluas 16.630 Ha atau sekira 70 persen dari luas lahan yang ada. Sedangkan, hutan lindung, perumahan dan fasilitas public serta sawah, hanya seluas 3.384 Ha. Kondisi demikian, jelas tidak seimbang jika dilihat dari aspek tata ruang dan penggunaan lahan. Keadaan penggunaan lahan yang relatif sama, juga terjadi di Kec. Tebingtinggi dan Tebing Syahbandar. Ketiga kecamatan di Kab. Sergai itu merupakan DAS Padang.

Dampak Pasar Global

Terjadinya ketidak seimbangan dalam pemanfaatan lahan, harus diakui merupakan salah satu dampak dari dinamika pasar global. Ketika crude palm oil menjadi idola di pasaran global, sebagian besar perkebunan di negeri ini yang umumnya mengandalkan eksport, melakukan alih tanam dari semula tanaman karet dan coklat kepada sawit. Salah satu dari multiply effect dari alih tanam itu, mau tak mau diikuti para pekebun rakyat yang jadi subsisten ynag dikenal dengan istilah PIR pada pihak perkebunan. Memang, antara perkebunan dan pekebun ada simbiosis mutualisma dalam pemanfaatan hasil. Pada akhirnya, terjadilah ketidak seimbangan pola tanam di suatu daerah.

Dari data yang ada, pasca nasionalisasi perkebunan di Sum. Utara dari Belanda tahun 1958, umumnya perkebunan yang ditinggalkan Kolonial itu, berjenis tanaman karet. Baru sekira 40 tahun terakhir banyak perkebunan mengembangkan tanaman sawit, karena harga pasar karet dan coklat dunia anjlok. Saat ini, Indonesia merupakan Negara pengeksport crude palm oil no. 1 di dunia. Namun, dampak lingkungan yang diakibatkannya, sangat luar biasa.

Kadis Kebersihan dan Pertamanan Kota Tebingtinggi Syaiful Fachri, SP, MSi, Selasa (29/12), mengatakan secara teoritis, tanaman sawit lebih rentan dibanding karet dan coklat dalam hal penyerapan air tanah. Karet dan coklat yang berakar tunggang memiliki kemampuan yang baik dalam menahan air. “ Satu pohon karet mampu menahan air hingga beberapa liter,” kata alumni FP USU itu. Demikian pula dengan coklat. Sedangkan sawit yang berakar serabut, sama sekali tidak mampu menahan air tanah, tapi memiliki daya serap tinggi terhadap air. Membanding kedua jenis tanaman itu, kata Syaiful Fachri, pohon karet dan coklat jauh lebih bermanfaat dalam menjaga keseimbangan lingkungan ketimbang pohon sawit.

Apalagi jika, penanaman tumbuhan asal Afrika itu, dilakukan serampangan tanpa mengindahkan tata ruang dan fisiografi/kemiringan lahan, kata Fachri. Menurut dia, sawit sangat beresiko secara lingkungan jika ditanam pada lahan dengan fisiografi/kemiringan di atas 25 persen. Dampaknya, erosi lahan akan terjadi secara drastis. Untuk daerah Sipispis dengan kemiringan 55,12 persen, semestinya tidak diperbolehkan penanaman sawit. Bahkan, areal dengan kemiringan demikian idealnya harus menjadi hutan konservasi, kata alumni S2 PWD USU. Bayangkan saja, tambah dia, jika posisi Kec. Sipispis berada pada 400-450 M dpl sedangkan Kota Tebingtinggi berada pada posisi 20 M dpl. Kalau hujan tanpa ada area resapan air, jelas saja air akan meluncur deras. “Itulah yang saat ini terjadi. Mungkin nantinya akan lebih parah,” kata dia.

Tidak hanya itu, replanting atau recleansing lahan menjadi salah satu penyebab lahan kritis dan erosi yang berakibat pada pendangkalan alur sungai. Harus diakui, dengan jumlah lahan sawit mencapai 70 persen di Kec. Sipispis, maka setiap tahun akan ada proses replanting lahan. Biasanya, replanting akan dilakukan menjelang musim penghujan. Tahapan replanting, dilakukan dengan membongkar pohon tua, dilakukan secara massif dengan alat berat (escavator). Selanjutnya, dilakukan proses memberishkan lahan dan mematangkannya hingga siap tanam. Tahap itu dilakukan sekira satu hingga dua bulan.

Sedangkan tahap penanaman akan dilaksanakan dengan perkiraan pada awal musim penghujan. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir biaya penyiraman. Pada proses penanaman di musim hujan itulah, terjadi erosi lahan, di mana air hujan menyeret permukaan tanah yang subur masuk ke alur sungai. Meski ada upaya melalui penanaman pohon kacang-kacangan yang dilakukan perkebunan. Namun, pada lahan rakyat hal itu tidak dilakukan secara sistemik, sehingga proses erosi berlangsung. “Bayangkan jika dalam satu tahun ada 1.000 Ha saja lahan di replanting,” kata Syaiful Fachri.

Faktor tingkat curah hujan, menjadi sangat menentukan dalam kaitannya dengan banjir. Lambas P Silalahi, staf di Kantor Lingkungan Hidup Kota Tebingtinggi, justru melihat persoalan curah hujan sebagai faktor dominan dalam kaitannya dengan banjir Sei Padang. “Curah hujan yang tinggi di Simalungun dan Sipispis merupakan faktor dominan,” kata alumni Teknik Kimia F.MIPA USU itu.

Untuk area Pegunungan Simbolon yang menjadi sumber mata air Sei Padang, berdasarkan data Pemkab Simalungun dan Sergai, tingkat curah hujan mencapai 3.500 mm/tahun sedangkan di Kec. Sipispis mencapai 2.200 mm/tahun. Itu artinya, kata Lambas, untuk setiap 1 M2 areal lahan per tahunnya akan diisi sekira 3,5 M3 atau 2,2 M3 air. Jika tanpa ada tumbuhan penjaga resapan air di setiap 1 M2 lahan, maka seluruh air yang ada meluncur ke daerah lebih rendah. Karena itu, banjir menjadi keniscayaan dalam kondisi demikian.

Dari analisis di atas, jelas sudah bahwa faktor-faktor dominan penyebab banjir dan kerusakan Sei Padang secara massif, dikarenakan perubahan jenis tanam dari pohon karet dan coklat menjadi pohon sawit sebagai dampak pasar global. Kemudian proses replanting yang sembarangan tanpa memperhatikan tata ruang dan fisiografi lahan serta curah hujan tinggi di hulu Sei Padang.

Sayangnya, proses yang mengakibatkan rusaknya DAS Padang itu bisa berlangsung aman tanpa khawatir menghadapi tuntutan atas kejahatan lingkungan itu. Karena, berdasarkan Perda Provsu No.7 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Provinsi Sum. Utara, menyatakan bahwa areal Gunung Simbolon dan sekitarnya menjadi hutan produktif. Hal itu, terungkap pada seminar :”Rencana Detail Tata Ruang dan Kota dan Tepi Sei Padang Serta Sei Bahilang dan Zonase Kawasan Wilayah Kota Utara,” pada November 2008 di Kota Tebingtinggi. Bahkan, Perda itu justru mendapat justifikasi dari Keputusan Menteri Kehutanan RI No.44 Tahun 2005 yang menguatkan keberadaan Perda itu.

Yang Harus Dilakukan

Apa yang harus dilakukan untuk menghempang kerusakan DAS Padang. Meski pertanyaan ini membutuhkan jawaban komplek. Tapi setidaknya, upaya ke arah itu harus dilakukan Disarankan, terlebih dahulu, Pemprovsu melakukan revisi terhadap Perda No.7 Tahun 2003, khususnya terkait dengan pengalihan areal Gunung Simbolon dari hutan lindung menjadi hutan produktif. :”Hutan Gunung Simbolon harus tetap jadi hutan lindung,” kata Ketua Bappeda Simalungun Ir.HM Damanik, saat pelaksanaan seminar. Sekaligus mengajukan permohonan revisi terhadap SK Menteri Kehutanan RI No.44 Tahun 2005.

Kemudian, membuat rencana strategis penganeka ragaman tanaman kehutanan kepada pekebun rakyat melalui pola PIR oleh perkebunan. Artinya, perkebunan dipersilahkan menanam sawit, tapi menganjurkan pekebun rakyat melakukan penanaman lahan hutan rakyat atau sejenisnya, yang produksinya ditampung perkebunan dan dicarikan pemasarannya. Pihak perkebunan harus melakukan upaya itu sebagai komitmen mereka terhadap program CSR (Corporate Social Responsibility) dan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Sedangkan Pemkab Simalungun dan Sergai sebagai penguasa administrasi meski melakukan regulasi atas upaya-upaya itu.

Upaya lain yang memungkinkan untuk dilakukan, adalah membebaskan lahan sempadan sungai untuk dijadikan sebagai areal konservasi. Berdasarkan ketentuan terbaru UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lahan selebar 9 M2 dari tepian sungai, harus dibebaskan dari kepemilikan dengan menjadikannya sebagai lahan negara untuk konservasi. Di daerah perkotaan seperti Tebingtinggi, upaya relokasi penduduk dari areal jalur hijau menjadi tak terhindarkan. Tentu saja relokasi itu hendaknya menghindari gejolak sosial. Salah satu di antara upaya itu dengan melakukan ganti untung lahan kepada warga pemilik. Atau dengan memberikan hunian baru yang terjamin secara sosial ekonomi kepada mereka yang mengalami relokasi.

Selain itu, pengerukan terhadap badan sungai, menjadi salah satu alternatif menyelesaikan persoalan banjir Sei Padang dan anak sungai lainnya. Untuk Kota Tebingtinggi, prioritas mengeruk badan sungai Bahilang menjadi hal penting. Karena pendangkalan yang terjadi sudah demikian parah. Melihat kondisi sempadan sungai yang banyak jadi hunian. Maka program yang tepat dilakukan adalah pengerukan mengandalkan jasa padat karya melalui kontrak kerja. Pemko Tebingtinggi, bisa melakukan program itu dengan mengerahkan 100 pekerja setiap hari dengan target penyelesaian dalam 1 tahun.

Inilah usulan yang memungkin untuk dilakukan guna mengurangi dampak kerusakan banjir DAS Padang. Saran ini juga mudah-mudahan bermanfaat bagi Dinas Bina Marga Provsu yang saat ini tengah melakukan tender proyek untuk studi penanggulangan banjir Kota Tebingtinggi. Wallahu a’lamu bi as shawab.Abdul Khalik

Kerusakan Bantaran Sei Padang : Hulu sungai Padang di Nagori Sabosarraya, Kec. Raya Kahean, Kab. Simalungun, terjadi akibat penambangan batu cadas di bantaran sungai. Tak ada upaya mencegah usaha merusak lingkungan itu. Terlihat badan sungai yang terkoyak lebar akibat penambangan batu selama bertahun-tahun. Foto direkam belum lama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar